Bincang Cyber

Bincang Cyber


CyberCrime Economy – E6

November 24, 2019

Penelitian yang di lakukan oleh Verizon di tahun 2017 menempatkan empat hal utama yang merupakan alasan hacker untuk melakukan penyerangan. Empat alasan ini akan saya sebutkan satu per satu dengan di urutkan berdasarkan bobot mulai dari yang tertinggi hingga yang terendah. Pertama, adalah alasan untuk memperoleh keuntungan finansial dari aktivitas illegal tersebut. Yang kedua, adalah untuk alasan espionage atau tindakan mata-mata terhadap aset digital yang berupa intellectual property atau merk dagang perusahaan dengan target umum perusahaan manufacturing, atau bahkan di beberapa kasus cyber espionage ini di landasi oleh political reason pada aktifitas penyerangan yang di lakukan. Ketiga, adalah alasan psikologis seperti misalnya kesenangan, balas dendam, maupun hacktivism. Dan yang terakhir, atay yang ke empat, adalah alasan untuk memanfaatkan vulnerability yang terdapat pada system serta kelalaian yang di akibatkan oleh ulah karyawan. Nah dari empat alasan ini, alasan finansial tidak di pungkiri menjadi penyebab terbesar dari meningkatnya intensitas serta dampak dari cybercrime. Alasan finansial ini bahkan di percaya melebihi motivasi awal para peretas ketika pertama kali memulai serangan, yaitu melatih dan mengembangkan keahlian meretas mereka. Dengan landasan alasan dan motivasi yang saya sebutkan di sini, maka istilah cybercrime yang biasanya hanya mengangkat sudut pandang korban, kini perlu di tambah kata economy yang memperjelas motivasi peretas selain juga menggambarkan dampak negatif kerugian yang di peroleh korban. Inilah yang saya maksudkan dengan CyberCrime Economy.

Hasil penelitian oleh beberapa ahli dan trending pembahasan di beberapa forum cybersecurity pada tahun 2019 menyebutkan bahwa CyberCrime Economy kini telah menjadi bentuk baru dari sebuah Business Model. Dengan kondisi ini batasan antara benar dan salah menjadi semakin tipis. Ketersediaan Dark Web yang di jadikan platform market serta CryptoCurrency sebagai alat pembayaran semakin menyuburkan CyberCrime Economy ini. Peretas yang berhasil mendapatkan intelektual property perusahaan memperoleh kemudian melelang hasil rampasannya di Dark Web dengan mempergunakan CryptoCurrency. Atau bahkan, bagi hacker yang belum mampu ataupun tidak sempat untuk membuat model attack, dapat memesan alat penyerangan cyber seperti ransomware dan jenis malicious software lainnya di Dark Web. Pemesanan dapat di lakukan pada penyedia produk yang beroperasi dengan konsep Cybercrime-as-a-Service (atau CaaS) atau istilah lainnya Ransomware-as-a-Service (atau RaaS). Kedua jenis usaha ini bahkan belum kita temukan pada dekade lalu. (ok)Hasil dari penelitian yang di lakukan McAfee Labs pada kuarter ketiga tahun 2018 menemukan bahwa terdapat rata-rata 480 threat untuk setiap menitnya. Selain itu, tercatat bahwa telah terjadi peningkatan sebesar 203 persen atas malware yang menyerang Internet of Things (IoT), kemudian tercatat peningkatan cryptomining malware sebesar 71 persen, selain itu di temukan peningkatan insiden data breach sebesar 20 persen yang sebagian besar mentargetkan Finansial Service industri atau FSI, dan terakhir di temukan pertambahan setidaknya sebesar 10 persen varian baru jenis malware. Secara keseluruhan ini memberikan kontribusi dampak kerugian senilai $ 1.5 trilyun pada tahun 2018. (Ok)Kita bisa bayangkan jika Cybercrime Economy ini merupakan sebuah negara, maka akan menempati urutan ke 13 dengan GDP tertinggi di dunia. Mengapa begitu besar? Jawabannya akan saya coba untuk rinci di sini. Hasil penelitian perusahaan cybersecurity Bromium di tahun 2018 menghasilkan beberapa perkiraan. Yang pertama, hasil perdagangan gelap aset umum cyber mencapai nilai $ 860 milyar, yang kedua, hasil penjualan Intelektual Properti dan Merk Dagang mencapai $ 500 milyar, yang ketiga bahwa penjualan data (seperti nomor kartu kredit, data nasabah, login atau password) mencapai angka $ 160 milyar, dan yang ke empat atau yg terakhir,